pujangga autis

Aku mencoba menjahit kata demi kata, meski aku
tak tahu apa arti dari kata puisi itu. Menggores
dengan tangan kiri dan menghapusnya berkali-kali
dengan tangan kanan. Seperti goresan kata-kata dari
catatan harian seorang Sutardji Calzoum Bachri yang
lebih besar dari seorang Chairil Anwar.
Aku tak peduli kata-kata pada nantinya menjadi
kata pemberontakan radikal dan revolusioner yang
sama sekali tidak menyentuh hakikat bahasa. Tak
pulka peduli para penerjemah atau penafsir,
menyerap menjadi corong kultur dunia.
Mengibaratkan mata kiri dan mata kanan Indonesia
yang memberi ruang pada kultur etnik sebagai
representasi perwakilan dunia.
Aku menulis tak peduli engkau akan membaca atau
tidak. Aku menulis untuk diriku sendiri,
mewakilkan diriku untuk duniaku. Menunjukkan
diriku pernah ada dan meninggalkan goresan-
goresan kegelisahan. Goresan-goresan
kebimbangan. Goresan-goresan nafsu birahi.
Goresan-goresan tangis, tawa dan air mata.
Mewakilkan diriku pada bentukan kata-kata yang
menjadi kalimat-kalimat menjemukan.
Aku tau kalian akan susah menebak dan berharap
kalian akan mengeryitkan dahi berulang-ulang
sampai kalian menyerah untuk membacanya. Aku
lebih mengenal diriku sendiri. Mencoba menjadi
pujangga autis yang absurd, mencoba menampilkan
makna hidup dan manifestasi atas diriku sendiri.

Tinggalkan komentar